Ritual dan Institusi Islam

RITUAL DAN INSTITUSI ISLAM

Pembahasan tentang tema ini dibagi menjadi dua bagian: ritual dan institusi Islam. Bagian pertama terdiri atas dua bagian, yaitu ritual dalam perspektif sosiologi; dan ritual Islam. Bagian kedua terdiri atas tiga bagian, yaitu institusi, fungsi dan unsur institusi, dan institusi Islam.

A. RITUAL DALAM PERSPERTIF SOSIOLOGI
Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci; dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat men¬tal. (Djamari, 1993: 35)
Hampir semua masyarakat yang melakukan ritual keagamaan dilatarbelakangi oleh kepercayaan. Adanya kepercayaan pada yang sakral, menimbulkan ritual. Oleh karena itu, ritual didefinisi¬kan sebagai perilaku yang diatur secara ketat, dilakukan sesuai dengan ketentuan, yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendatangkan keber¬kahan, karena percaya akan hadirnya sesuatu yang sakral. Sedang¬kan perilaku profan dilakukan secara bebas. (Djamari, 1993: 36).
Dalam analisis Djamari (1993: 36), ritual ditinjau dari dua segi: tujuan (makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuan¬nya bersyukur kepada Tuhan; ada ritual yang tujuannya mende¬katkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan rahmat; dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan?
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua: individual dan kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara per¬orangan, bahkan ada yang dilakukan dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula ritual yang dilakukan secara kolektif (umum), seperti khotbah, salat berjamaah, dan haji.
George Homans (Djamari, 1993: 38) menunjukkan hubungan antara ritual dan kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya, ia membagi kecemasan menjadi: kecemasan yang bersifat "sangat", yang ia sebut kece¬masan primer; dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kece¬masan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual primer; dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia mendefinisikan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan- dan ritual sekunder sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau kekurangan dalam ritual primer.
Berbeda dengan Homans, C. Anthony Wallace (Djamari, 1993: 39) meninjau ritual dari segi jangkauannya, yakni sebagai berikut.
1. Ritual sebagai teknologi, seperti upacara yang berhubungan dengan kegiatanpertanian dan perburuan.
2. Ritual sebagai terapi, seperti upacara untuk mengobati dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Ritual sebagai ideologis -mitos dan ritual tergabung untuk mengendalikan suasana perasaan hati, nilai, sentimen, dan perilaku untuk kelompok yang baik. Misalnya, upacara inisiasi yang merupakan konfirmasi kelompok terhadap sta¬tus, hak, dan tanggung jawab yang baru.
4. Ritual sebagai penyelamatan (salvation), misalnya seseorang yang mempunyai pengalaman mistikal, seolah-olah menjadi orang baru; ia berhubungan dengan kosmos yang juga mem¬pengaruhi hubungan dengan dunia profan.
5. Ritual sebagai revitalisasi (penguatan atau penghidupan kembali). Ritual ini sama dengan ritual salvation yang bertu¬juan untuk penyelamatan tetapi fokusnya masyarakat.

Demikianlah ritual dalam perspektif sosiologi. Meskipun, pada bagian tertentu, kita kurang setuju, misalnya, dengan munculnya anggapan bahwa umat Islam memuja Hajar Aswad (lihat Elizabeth K. Nottingham, 1993: 10), karena mereka melihatnya dari sudut formal (yang terlihat), bukan dari sudut ajaran.



B. RITUAL ISLAM
Secara umum, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang mempunyai dalil yang tegas dan eksplisit dalam A1¬Quran dan Sunnah; dan ritual yang tidak memiliki dalil, baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah. Salah satu contoh ritual bentuk pertama adalah salat; sedangkan contoh ritual kedua adalah marhabaan, peringatan hari (bulan) kelahiran Nabi Mu¬hammad Saw (rnuludan, Sunda), dan tahlil yang dilakukan keluarga ketika salah satu anggota keluarganya menunaikan ibadah haji atau meninggal dunia.
Selain perbedaan tersebut, ritual dalam Islam dapat ditinjau dari sudut tingkatan. Dari segi ini, ritual dalam Islam dapat dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier.
Ritual Islam yang primer adalah ritual yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Umpamanya, salat wajib lima waktu dalam sehari semalam. Kewajiban ini disepakati oleh ulama karena berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
Ritual Islam yang sekunder adalah ibadah salat sunah, umpamanya bacaan dalam rukuk dan sujud, salat berjamaah, salat tahajud dan salat duha.
Ritual Islam yang tertier adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada derajat sunah. Umpamanya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dan Ibnu Hibban yang rnenyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Orang yang membaca ayat kursiy setelah salat wajib, tidak akan ada yang menghalanginya untuk masuk surga. Meskipun ada hadis tersebut, ulama tidak berpendapat bahwa membaca ayat kursiy setelah salat wajib adalah sunah. Karena itu, membaca ayat kursiy setelah salat wajib hanya bersifat tahsini.
Dari sudut mukalaf, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua: ritual yang diwajibkan kepada setiap orang, dan ritual yang wajib kepada setiap individu tetapi pelaksanaannya dapat diwakili oleh sebagian orang.
Dari segi tujuan, ritual Islam dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu ritual yang bertujuan mendapatkan ridla Allah semata dan balasan yang ingin dicapai adalah kebahagiaan ukhrawi; dan ritual yang bertujuan mendapatkan balasan di dunia ini, misalnya salat istisqa, yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar berkenan menakdirkan turun hujan.
Dengan meminjam pembagian ritual menurut sosiolog (yang dalam tulisan ini diambil dari Homans), ritual dalam Islam juga dapat dibagi menjadi dua: ritual primer dan ritual sekunder.
Ritual primer adalah ritual yang merupakan kewajiban sebagai pemeluk Islam. Umpamanya, kewajiban melakukan salat Jumat bagi Muslim laki-laki. Di sebagian masyarakat Indonesia, terdapat kebiasaan salat i'adah, yaitu salat zuhur yang dilakukan secara berjamaah setelah salat Jumat.
Dalam salah satu diskusi terungkap mengenai alasan pelak¬sanaan i'adah itu. Di antara alasan yang dikemukakan adalah bahwa dalam salat Jumat terdapat banyak syarat yang secara rinci telah dimuat dalam kitab-kitab fikih, di antaranya harus muqim (penduduk setempat) dan jumlahnya 40 orang. Menurut kiai, meskipun jumlah jamaah diyakini lebih dari empat puluh orang, tidak dapat diketahui secara pasti apakah mereka itu penduduk setempat atau musafir. Oleh karena itu, jalan aman yang ditempuh adalah salat Zuhur setelah salat Jumat untuk menutupi kemung¬kinan tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat penyelenggaraan salat Jumat. Dalam kasus itu, salat Jumat berkedudukan sebagai ritual primer; dan salat Zuhur (i'adah) berkedudukan sebagai ritual sekunder.
Demikian ritual Islam dikaji dari beberapa aspek atau segi. Kajian tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara bervariasi sehingga tidak mungkin menutup perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penempatan satu ritual pada posisi tertentu bisa berbeda-beda, karena ajaran dasar agama kita tidak menyebutnya secara eksplisit.

C. INSTITUISI
Dalam bahasa Inggris dijumpai dua istiiah yang mengacu kepada pengertian institusi (Iembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, 1995: 1).
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalihbahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi, Soerjono Soekanto (1987:177) menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk men¬jelaskan istilah Inggris tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu adalah pranata sosial yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial, seperti dituturkan oleh koentjaraningrat (1980: 179), adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, menurut beliau, lembaga kemasyarakatan adalah sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa arti social institution adalah bangunan social. Ia merupakan padanan dari istilah Jerman, yaitu siziale gebilde. Terjemahan ini nampak jelas menggambarkan bentuk dan struktur social insti¬tution.
Pengertian-pengertian social instiuction yang lain yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, (1987: 179) adalah sebagai berikut:
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah dicipta¬kan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.

Howard Becker mengartikan social institution dari sudut fungsinya. Menurutnya, ia merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manu¬sia yang berfungsi meraih dan memelihara kebutuhan hidup mereka.

Sumner melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, social institution ialah perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masvarakat.

Dari paparan singkat mengenai pengertian institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: per¬tama, sistem norma yang mengandung arti pranata; dan kedua, bangunan. Menurut Sumner, sebagaimana dikutip oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 67), an institution consists of a concept idea, notion, doctrin, interest and a structure (suatu institusi terdiri atas konsep tentang cita-cita, minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma, institusi itu bersifat mengikat. Ia merupakan aturan yang mengatur warga kelompok di masya¬rakat. Di samping itu, ia pun merupakan pedoman dan tolok ukur untuk menilai dan memperbandingkan dengan sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masya¬rakat, berubah sesuai keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah, umpamanya, kelompok norma kekerabatan yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang melahirkan institusi pendi¬dikan; kelompok norma hukum melahirkan institusi hukum, seperti peradilan; dan kelompok norma agama yang melahir¬kan institusi keagamaan.
Dilihat dari daya yang mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); dan keempat, adat istiadat (custom).
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma usage adalah paling lemah dibandingkan ketiga tingkatan norma lainnya.
Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara ber¬ulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa perbuatan itu disenangi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada norma usage, contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap sebagai suatu penyimpangan. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagai cara berperi¬laku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores. Ia merupa¬kan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daripada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan (mores) yang terus-menerus dilakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ke tahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderita karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat. (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964: 61-2)

D. FUNGSI DAN UNSUR- UNSUR INSTITUSI
Secara umum, tujuan institusi itu adalah memenuhi segala kebutuhan pokok manusia, seperti kebutuhan keluarga, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan pengendalian sosial berdasarkan sistem ter¬tentu, yaitu sistem pengawasan tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan fungsi-fungsi institusi yang diungkapkan di atas, seorang peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian tingkah laku suatu masyarakat selayaknya memperhatikan secara cermat institusi-institusi yang ada di masyarakat bersangkutan.
Menurut Mac Iver dan Charles H. Page, dalam bukunya yang berjudul Society: an Introductory Analysis yang ditulis dan disadur oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964: 78), elemen institusi itu ada tiga: pertama, association; kedua, characteristic institutions; dan ketiga, special interest.
Association merupakan wujud konkret dari institusi, ia bukan sistem nilai tetapi merupakan bangunan dari sistem nilai. Ia adalah kelompok-kelompok kemasyarakatan. Sebagai contoh, institut atau universitas merupakan institusi kemasya¬rakatan, sedangkan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga adalah association.
Characteristic institution adalah sistem nilai atau norma ter¬tentu yang dipergunakan oleh suatu associaton. Ia dijadikan landasan dan tolok ukur berperilaku oleh masyarakat asosiasi yang bersangkutan. Tata perilaku dalam characteristic institution mempunyai daya ikat yang kuat dan sanksi yang jelas bagi setiap jenis pelanggaran.
Special interest adalah kebutuhan atau tujuan tertentu, baik kebutuhan yang bersifat pribadi maupun asosiasi.
Sebagai sebuah gambaran ringkas, kita lihat contoh berikut ini: Keluarga merupakan asosiasi yang di dalamnya terdiri atas beberapa anggota keluarga. Para anggota keluarga terikat oleh aturan-aturan yang telah sama-sama disepakati. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

E. INSTITUSI ISLAM
Sistem norma dalam agama Islam bersumber dari firman Allah Swt dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Ia merupakan pedo¬man bertingkah laku masyarakat Muslim agar mereka mem¬peroleh kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Daya ikat norma dalam Islam tercermin dalam bentuk mubah, mandub, wujub, makruh dan haram. Dalam terminologi ilmu Ushul Fikh, mubah tidak mempunyai daya ikat sehingga perilaku mubah tidak mendapat sanksi. Mandub mempunyai daya ikat yang agak kuat sehingga seseorang yang menger¬jakan perilaku dalam kategori ini akan mendapat pahala. Wujub adalah perilaku yang harus dilakukan sehingga sese¬orang yang mengerjakan perilaku wujub akan mendapat pahala sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi. Makruh adalah tingkat norma yang memberikan sanksi kepada yang melanggarnya; dan yang tidak melanggar tidak diberi pahala. Adapun haram adalah norma yang memberikan sanksi yang sangat berat kepada pelanggar.
Institusi adalah sistem nilai dan norma. Adapun norma Islam terdapat dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Norma akidah tercermin dalam rukun iman vang enam. Norma ibadah tercermin dalam bersuci (thaharah), salat, zakat, puasa (shaum), dan haji. Norma muamalah tercermin dalam hukum perdagangan, perserikatan, bank, asuransi, nikah, waris, perceraian, hukum pi¬dana, dan politik. Adapun norma akhlak tercermin dalam akhlak terhadap Allah Swt dan akhlak terhadap makhluk.
Norma-norma dalam Islam yang merupakan characteristic in¬stitution, seperti yang disebutkan di atas kemudian melahirkan kelompok-kelompok asosiasi (association) tertentu yang merupa¬kan bangunan atau wujud konkret dari norma. Pembentukan asosiasi dengan landasan narma oleh masyarakat Muslim meru¬pakan upaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga me¬reka bisa hidup dengan aman dan tenteram serta bahagia di dunia dan akhirat; karena institusi di dalam Islam adalah sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam, dan sengaja diadakan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam.
Dari paparan singkat di atas, dapat dikemukan beberapa contoh institusi dalam Islam yang ada di Indonesia, seperti insti¬tusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agamanya, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama perempuan; institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah; institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Mu'amalah Indonesia (BMI), Baitul Mal Watamwil (BMT); institusi zakat yang diasosiasi¬kan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS); dan institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi segala kebutuhan masvarakat Muslim, baik kebutuhan fisik maupun nonfisik.
Di samping itu ada juga institusi politik yang diasosiasikan menjadi partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Umat Islam (PUI). Demikianlah pembahasan kita mengenai institusi dan institusi Islam yang secara sepintas telah membedakan antara institusi dengan organisasi.

Pendekatan dalam Memahami Agama

BERBAGAI PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI AGAMA


Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambing kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam kotbah, melainkan secara konseptional menunjukkan cara- cara yang paling epektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normative dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual,. Dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibanding¬kan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, seba¬gaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen -Katolik, teologi Kristen Protes¬tan, dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan TheEncyclopaedia ofAmerican Religion, di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu'tazilah, teologi Asy'ariyah, dan Maturidivah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji'ah. Menurut pengamatan Savyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis mesianis, dan Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai "keyakinan" teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah "teologi" di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan faham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata- mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih- lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, social, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dsb.


Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan se¬bagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pende¬katan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejaian dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan ¬perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kava lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodin¬son, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.

Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersma dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, kevakinan yang memberi sifat tersendiri kepada tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu Soerjono soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahu¬an yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetap¬kana rah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk- petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses- proses social mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.
Selanjutnva, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kaiian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah social. Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah social, dengan mengajukan lima alsan sebagai berikut: pertama, dalam al-Qur'an atau kitab- kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni , dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat ibadah dan yang menyangkut kehidupan social adalah satu berbanding seratus. Kedua, bahwa ditekankannya masalah social (muamalah) dalam Islam ialaha adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting. Maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian. Keempat,dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah social. Misalnya bila suami isteri bercampur di siang pada bulan ramadhan, maka tebusannya yang pertama adalah membebaskan budak, dan yang ketiga adalah memberi makan fakir miskin. Kelima dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa lndonesia, Poerwadarminta mengartikan flsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti "adanya" sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya ber¬upaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya.
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnva membaca buku berjudul Hikmah Al-Tasyri' wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al Jurjawi. Dalam buku tersebut A1 Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, dan merasa bersaudara dengan sesame muslim di dunia.

Pendekatan Historis
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terhadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur'an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur'an atau kejadian- kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur'an yang selanjutnya disebut ilmu asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab- sebab turunnya al-Qur'an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur'an. Dengan ilmu asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.

Pendekatan Kebudayaan
Dalam Karnus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainva) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Did lam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adapt istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blueprint oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Alquran maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang herkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsure agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan ¬kaum wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.

Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, ¬perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi ole¬h keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapka¬n salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela ¬berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipen¬tingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggam¬barkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanam¬kan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian se¬seorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan kehidupannya mendapat bimbingan dari agama.

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM

A. BIDANG AGAMA
Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara tentang karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis adalah sebuah aturan Tuhan ¬(Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan ¬tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh_¬kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama-agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah. (QS Al-Maidah, 5:44-50). Kesadaran segi kontinuitas agama juga ditegaskan dalam kitab suci di ber¬bagai tempat, disertai perintah agar kaum muslimin berpegang teguh kepada ajaran kontinuitas itu dengan beriman kepada semua para nabi dan rasul tanpa kecuali dan tanpa membeda-bedakan antara mereka, baik yang dise¬butkan dalam kitab suci maupun yang tidak disebutkan. (QS AI-Bayarah 2:136; Al-Nisa,4:163-165).
Memang dan seharusnya tidak perlu mengherankan, bahwa Islam selaku agama besar terakhir, mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis kontinuitas tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa justeru penyelesaian terakhir yang diberikan Islam sebagai agama terakhir untuk persoalan keagamaan itu ialah ajaran pengakuan akan hak agama-agama itu untuk berada dan untuk dilaksanakan. Karena itu agama tidak boleh dipaksakan (QS AI-Baqarah, 2:256). Bahkan Alquran juga mengisyaratkan bahwa para penganut berbagai agama, asalkan percaya kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat baik, semuanya akan selamat. (QS Al-Baqarah, 2:62; Al-Maidah, 5:26). Inilah yang selanjutnya menjadi dasar toleransi agama yang menjadi ciri sejati Islam dalam sejarahnya yang otentik, suatu semangat yang merupakan kelanjutan pelaksanaan ajaran al-qur'an.
Karakteristik dalam bidang agama tersebut di samping mengakui adanya pluralisme sebagai suatu kenyataan, juga mengakui adanya universalisme yakni mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh berbuat baik, dan mengajak pada keselamatan. Inilah yang selanjutnya dapat dijadikan landasan untuk membangun konsep toleransi dalam beragama. Dalam hubungan ini menarik sekali apa yang dikatakan H. M. Quraish Shihab. Menurutnya, bahwa dengan menggalj ajaran-ajaran agama meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak pada kenyataan, jalan akan dapat dirumuskan. Bukankah agama-agama monoteisme dengan ajaran Yang Maha Esa pada hakikatnya menganut paham universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia.
Pandangan ini merupakan modal besar. Di samping itu, diyakini secara penuh oleh setiap penganut agama bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya.
Dengan demikian, karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.

B. BIDANG IBADAH
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsi¬nya dalam bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt. karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid. Majlis Tarjih Muhammadiyah dengan agak lengkap mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan segala apa yang diizinkan-Nya ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah, sedangkan yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian- perinciannya, tingkat dan cara- caranya yang tertentu.
Ibadah yang dibahas dalam bagian ini adalah ibadah dalam arti yang nomor dua, yaitu ibadah khusus. Dalam yurisprudensi Islam telah diterapkan bahwa dalam urusan ibadah tidak boleh ada "kreatifitas", sebab yang meng"creat" atau yang membentuk suatu ibadah dalam Islam dinilai sebagai bid'ah yang dikutuk nabi sebagai kesesatan. Bilangan salat lima waktu serta tata cara mengerjakannya, ketentuan ibadah haji dan tata cara mengerjakannya telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Ketentuan ibadah demikian itu termasuk salah satu bidang ajaran Islam di mana akal manusia tidak perlu campur tangan, melainkan hak dan otoritas Tuhan sepenuhnya. Kedudukan manusia dalam hal ini mematuhi, mentaati, melaksanakan, dan menjalankannya dengan penuh ketundukan pada Tuhan sebagai bukti pengabdian dan rasa terima kasih kepada-Nya. Hal demikian menurut Ahmad Amin, dilakukan sebagai arti dan pengisian dari makna Islam, yaitu berserah diri, patuh dan tunduk guna mendapatkan kedamaian dan keselamatan. Dan itulah yang selanjutnya membawa manusia menjadi hamba yang saleh, sebagaimana dinyatakan Tuhan" Hamba Allah yang saleh adalah yang berlaku rendah hati (tidak sombong dan tidak angkuh). Jika mereka diejek oleh orang bodoh mereka selalu berkata selamat dan damai (QS: 25:63). Ketenangan jiwa, rendah hati, menyandarkan diri kepada amal saleh dan ibadah, dan tidak kepada nasab keturunan, semuanya itu adalah gejala kedamaian dan keamanan sebagai pengamalan dari ibadah.
Dengan demikian, visi Islam tentang ibadah adalah merupakan sifat, jiwa dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai mahluk yang hanya diperintahkan agar beribadah kepada-Nya. Adapun ibadah dalam arti umum selanjutnya bersentuhan dengan masalah muamalah.

C. BIDANG AKIDAH
Ajaran Islam sebagaimana yang dikemukakan Maulana Muhammad Ali, dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu bagian teori atau yang lazim disebut rukun iman, dan bagian praktik yang mencakup segala yang harus dikerjakan oleh orang Islam, yakni amalan- amalan yang harus dijadikan pedoman hidup; bagian pertama selanjutnya disebut ushul (pokok) dan bagian kedua disebut furu' (cabang). Kata ushul adalah jamak dari ashl artinya pokok atau asa; adapun kata furu' artinya cabang. Bagian pertama disebut pula aqaid artinya keprcayaan yang kokoh, adapaun bagian kedua disebut ahkam. Menurut Imam Syahrastani bagian pertama disebut ma'rifat dan bagian kedua disebut tha'ah, kepatuhan.
Selanjutnya dalam Kitab Mu'jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi ikatan yang mudah dibuka karena akan mengandung unsur yang membahayakan. Dalam bidang perundang- ¬undangan, akidah berarti menyepakati antara dua perkara atau lebih yang harus dipatuhi bersama. Dalam kaitan ini akidah berkaitan dengan kata aqad yang digunakan untuk arti akad nikah, akad jual beli, akad kredit dan sebagainya. Dalam akad tersebut terdapat dua orang yang saling menyepakati sesuatu yang apabila tidak dipatuhi akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan Akad nikah misalnya, apabila dirusak akan berakibat merugikan kepad dua belah pihak secara lahir dan batin, apalagi bila kedua pasangan tersebut telah dikarunia putera-putera yang membutuhkan kasih sayang.
Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya. yang diyakini dan diakui sebagai Tuhan yang wajib disembah hanya Allah. Keyakinan tersebut sedikitpun tidak boleh diberikan kepada yang lain, karena akan berakibat musyrik yang berdampak pada motivasi kerja yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah. Dalam prosesnya, keyakinan tersebut harus ¬langsung, tidak boleh melalui perantara. Akidah demikian itulah yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya pada Allah, yang selanjutnya berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan lainnya yang menggantikan posisi Tuhan.

D. BIDANG ILMU DAN KEBUDAYAAN
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Dari satu segi Islam terbuka dan akomodatif untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam. Dalam bidang ilmu dan teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka atau tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam itu bukan Timur dan bukan Barat, ini tidak berarti kita harus menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia.

E. BIDANG PENDIDIKAN
Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut di atas, Islam juga memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). Dalam bidang pendidikan Islam memiliki rumusan yang jelas dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana dan lain sebagainya.

F. BIDANG SOSIAL
Ajaran Islam di bidang social ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas, pada akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang social ini, Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh ennek moyangnya, kebangsanaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dan lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat manusia ditentukan oleh ketaqwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang bermanfaat bagi manusia.


G. BIDANG KEHIDUPAN EKONOMI
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhir dicapai dengan dunia. Kita membaca hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak yang artinya: bukanlah termasuk orang yang baik diantara kamu adalah orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.

H. BIDANG KESEHATAN
Ciri khas ajaran Islam selanjutnya dapat dilihat dalam konsepnya mengenai kesehatan. Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada penyembuhan. Dalam bahasa Arab prinsip ini berbunyi "al-wiqayah khair min al'ilaj" berkenaan dengan kontek kesehatan ini ditemukan sekian banyak petunjuk kitab suci dan sunnah nabi yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
Untuk menuju pada upaya pencegahan dimaksud, Islam menekankan segi kebersihan lahir dan batin. Kebersihan lahir dapat mengambil bentuk kebersihan tempat tinggal, lingkungan sekitar, badan, pakaian, makanan, dsb. Selanjutnya dalam rangka menghasilkan kesehatan mental maka bertaubat adalah salahsatu jalannya sebagaimana dalam Qs al- Baqarah ayat 222.

I. BIDANG POLITIK
Dalam al-Qur'an surat al-Nisa ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan Negara. Dalam hal ini Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin.Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran dari Tuhan. Masalah politik ini selanjutnya berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republic, kerajaan dsb. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing- masing, namun yang terpenting bentuk pemerintahan tersebut harus digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.

J. BIDANG PEKERJAAN
Islam memandang kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. atas dasar ini maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian kepada Allah Swt., dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.unuk itu Islam tidak menekankan pada banyaknya pekerjaan, tetapi pada kualitas dan manfaat kerja. Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang dilakukan adalah kerja professional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian, pengalaman, kesungguhan dst. Suatu pekerjaan yang diserahkan bukan pada ahlinya tunggulah kehancurannya. Demikian peringatan Nabi Muhammad Saw.