BERBAGAI PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI AGAMA
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambing kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam kotbah, melainkan secara konseptional menunjukkan cara- cara yang paling epektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normative dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual,. Dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibanding¬kan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, seba¬gaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen -Katolik, teologi Kristen Protes¬tan, dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan TheEncyclopaedia ofAmerican Religion, di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu'tazilah, teologi Asy'ariyah, dan Maturidivah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji'ah. Menurut pengamatan Savyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis mesianis, dan Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai "keyakinan" teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah "teologi" di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan faham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata- mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih- lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, social, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dsb.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan se¬bagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pende¬katan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejaian dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan ¬perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kava lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodin¬son, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersma dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan- ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, kevakinan yang memberi sifat tersendiri kepada tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu Soerjono soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahu¬an yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetap¬kana rah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk- petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses- proses social mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.
Selanjutnva, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kaiian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah social. Dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah social, dengan mengajukan lima alsan sebagai berikut: pertama, dalam al-Qur'an atau kitab- kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni , dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat ibadah dan yang menyangkut kehidupan social adalah satu berbanding seratus. Kedua, bahwa ditekankannya masalah social (muamalah) dalam Islam ialaha adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting. Maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu shalat berjamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat sendirian. Keempat,dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah social. Misalnya bila suami isteri bercampur di siang pada bulan ramadhan, maka tebusannya yang pertama adalah membebaskan budak, dan yang ketiga adalah memberi makan fakir miskin. Kelima dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa lndonesia, Poerwadarminta mengartikan flsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti "adanya" sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya ber¬upaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya.
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnva membaca buku berjudul Hikmah Al-Tasyri' wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al Jurjawi. Dalam buku tersebut A1 Jurjawi berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, dan merasa bersaudara dengan sesame muslim di dunia.
Pendekatan Historis
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terhadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur'an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur'an atau kejadian- kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur'an yang selanjutnya disebut ilmu asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab- sebab turunnya al-Qur'an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur'an. Dengan ilmu asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
Pendekatan Kebudayaan
Dalam Karnus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainva) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Did lam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adapt istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blueprint oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Alquran maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang herkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsure agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan ¬kaum wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.
Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, ¬perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi ole¬h keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapka¬n salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela ¬berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipen¬tingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggam¬barkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanam¬kan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian se¬seorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan kehidupannya mendapat bimbingan dari agama.
Pendekatan dalam Memahami Agama
02.46
blog heru
Posted in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Response to "Pendekatan dalam Memahami Agama"
mas heru, untuk lebih baiknya mungkin anda dapat menuliskan tentang bagaimana metode-metode yang dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan tersebut. terimaksih,..
Posting Komentar